A. MULAI DARI DIRI MODUL 1.1
Pada tugas Mulai Dari Diri, CGP diajak untuk menuliskan refleksi kritis dengan pertanyaan panduan terkait konsep pemikiran Ki Hadjar Dewantara sebagai berikut :
- Apa yang ada Anda ketahui tentang pemikiran Ki Hajar Dewantara (KHD) mengenai pendidikan dan pengajaran?
- Apa relevansi pemikiran KHD dengan konteks pendidikan Indonesia saat ini dan konteks pendidikan di sekolah Anda secara khusus?
- Apakah Anda merasa sudah melaksanakan pemikiran KHD dan memiliki kemerdekaan dalam menjalankan aktivitas sebagai guru?
Menurut Ki Hajar Dewantara, setiap murid memiliki kodrat dan potensi yang berbeda-beda. Sebagai seorang pendidik, kita hanya berfungsi mengantarkan murid agar siap hidup dan memberikan kepercayaan kepada murid bahwa di masa depan, mereka akan menjadi manusia yang bermanfaat. Sesuai dengan semboyan Ki Hajar Dewantara, fungsi pendidik adalah :
- "Ing ngarso sung tulodho" yang berarti pendidik menjadi teladan muridmuridnya
- "Ing madya mangun karsa" yang berarti pendidik harus mampu membangkitkan
- semangat, dan selalu menuntun murid
- "Tut wuri handayani" yang berarti pendidik harus memberikan saran dan rekomendasi agar murid percaya akan kemampuannya sendiri dan mampu menciptakan karya
Ki Hajar Dewantara mengemukakan bahwa murid adalah manusia yang utuh dan unik, sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada murid yang bodoh. Kecerdasan murid dibagi menjadi tiga jenis yaitu auditori, visual, dan kinestetik. Jika murid tidak bisa menghitung, bukan berarti murid itu bodoh karena setiap murid punya kepandaian masing-masing. fungsi pendidikan hanyalah untuk mengasah kepintaran masing-masing murid. Pendidikan hanya sebagai pengantar agar murid dapat menjadi manusia seutuhnya dan dapat bermanfaat untuk asa depannya. Pendidikan di Indonesia saat ini menitikberatkan pada 4 keterampilan yang disebut 4 C (Critical thinking, Creative thinking, Communication, dan Collaboration). Pembelajaran yang menitik beratkan pada 4C disebut pembelajaran abad 21, karena 4 keterampilan inilah yang dibutuhkan oleh murid agar dapat bersaing nantinya. Kurikulum saat ini, yaitu kurikulum merdeka, juga menitikberatkan pada 4 keterampilan tersebut, dan sesuai dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan dan pengajaran. Kurikulum merdeka diterapkan di Indonesia dengan harapan perbedaan kompetensi dan potensi setiap murid dapat difasilitasi, sehingga murid mendapat hak belajarnya dengan baik. Di dalam kurikulum merdeka, murid akan diberikan pembelajaran yang berbeda sesuai dengan kecerdasannya masing-masing, atau disebut dengan pembelajaran yang berdiferensiasi. Murid dengan kecerdasan visual akan mendapat pembelajaran yang menitikberatkan pada visual, begitupun dengan murid yang memiliki kecerdasan auditori dan kinestetik akan mendapat pengajaran yang sesuai dengan kecerdasannya. Hal ini sesuai dengan pemikiran Ki Hadjar Dewantara yang menyatakan bahwa pendidikan hanya mengantarkan murid menjadi manusia seutuhnya dengan kemampuan mereka masing-masing.
B. RUANG KOLABORASI MODUL 1.1
Pada Ruang Kolaborasi, CGP diajak untuk mendiskusikan tentang :
- Apa kekuatan konteks sosio-kultural di daerah Anda yang sejalan dengan pemikiran KHD?
- Bagaimana pemikiran KHD dapat dikontekstualkan sesuaikan dengan nilai-nilai luhur kearifan budaya daerah asal yang relevan menjadi penguatan karakter murid sebagai individu sekaligus sebagai anggota masyarakat pada konteks lokal sosial budaya di daerah Anda?
- Sepakati satu kekuatan pemikiran KHD yang menebalkan laku murid di kelas atau sekolah Anda sesuai dengan konteks lokal sosial budaya di daerah Anda yang dapat diterapkan.
C. DEMOKRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.1
Pada Demokrasi Kontekstual, CGP diajak untuk :
- Membuat satu karya (karikatur, infografis, video pendek, komik, lagu, puisi, dll) untuk menggambarkan pemikiran filosofis KHD sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman baru yang Anda peroleh.
- Karya itu merupakan sebuah perumpamaan yang Anda gunakan sebagai wujud kontekstual pemahaman Anda terhadap pemikiran-pemikiran KHD.
Berikut adalah video demokrasi kontekstual yang saya buat :
D. KONEKSI ANTAR MATERI MODUL 1.1
Pada Koneksi Antar Materi, CGP diajak untuk meninjau ulang materi pada modul 1.1 dan membuat koneksi antar materi yang sudah dipelajari. Berikut adalah koneksi antar materi yang saya buat dalam bentuk video :
E. AKSI NYATA MODUL 1.1
Aksi nyata yang saya lakukan di sekolah tentang modul 1.1 yaitu Filosofi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara adalah sebagai berikut :
F. REFLEKSI DWIMINGGUAN MODUL 1.1
Berikut adalah refleksi dwimingguan modul 1.1 yang saya buat :
Refleksi Praktik Baik dan aksi nyata
1. Fact (Peristiwa)
Setelah mempelajari modul 1.1 tentang Filosofi Pendidikan Ki Hajar Dewantara pada Pendidikan Guru Penggerak, saya berinisiatif untuk membuat satu pembiasaan baik untuk diterapkan kepada anak didik saya, yaitu Meru Betiri (Membawa Tumbler/Botol Minum Setiap Hari). Pembiasaan baik ini saya pilih karena peran saya sebagai guru fisika di sekolah menitikberatkan pada pelestarian lingkungan, yang dimulai dari lingkungan yang sering ditempati murid, yaitu sekolah. Gerakan Meru Betiri adalah salah satu bentuk pembiasaan sederhana untuk mengurangi sampah plastik dari botol air mineral. Dengan membawa tumbler atau tempat minum setiap hari, murid akan terbiasa untuk tidak membeli air mineral botol ataupun gelas di sekolah. Jika habis, maka murid juga dapat mengisi ulang air mineral tersebut di kantin atau koperasi siswa. Gerakan ini muncul sebagai awal dari gerakan peduli lingkungan di sekolah.
Perencanaan pembiasaan baik ini akan saya mulai pada tahun ajaran baru 2023/2024, dimulai dari murid di kelas yang saya ajar. Hal tersebut saya lakukan karena pada bulan ini, murid-murid sudah melaksanakan PAT (Penilaian Akhir Tahun) yang artinya tidak ada pembelajaran di kelas. Pada awalnya, saya akan menggiring murid untuk menerapkan kesepakatan kelas untuk membawa tempat minum di hari yang memiliki jam pelajaran fisika, agar mudah saya kontrol dan saya ingatkan tentang pembiasaan baik. Setelah murid-murid terbiasa untuk membawa botol minum setiap jam pembelajaran Fisika, maka pembiasaan baik mulai saya tingkatkan, dengan membawa botol minum setiap hari. Cara ini lebih mudah karena di awal murid sudah terbiasa membawa pada jam pelajaran fisika, sehingga kebiasaan menjaga lingkungan akan melekat pada diri murid.
Tahap selanjutnya, ketika murid sudah terbiasa untuk mengurangi sampah botol plastik, maka saya menggalakkan dua opsi pelestarian lingkungan selanjutnya, yaitu bank sampah skala sekolah dan recycle sampah plastik. Untuk program bank sampah skala sekolah, saya harus bekerjasama dengan pihak pengepul plastik untuk menjual sampah plastik yang ditukarkan oleh murid. Murid tidak akan menerima jasa berupa uang, tapi makanan ringan yang senilai dengan banyaknya sampah plastik yang mereka kumpulkan. Untuk program recycle, saya membawa pemikiran murid untuk memanfaatkan sampah plastik yang ada dan diolah menjadi barang yang dapat dijual kembali, seperti tas dari plastik kopi instan, kotak pensil dari botol bekas, lampu mainan dari sendok plastik bekas, dan lain sebagainya. Untuk gerakan recycle bisa dimasukkan dalam proyek penguatan profil pelajar Pancasila, sehingga hasil recycle bisa maksimal. Kedua opsi pilihan ini secara tidak langsung dapat meningkatkan kesadaran murid akan selalu melakukan pemilahan sampah. Pemilihan program lanjutan yang akan realisasi disesuaikan dengan keadaan sekolah nantinya.
Selain merencanakan pembiasaan baik, saya juga sudah melakukan aksi nyata saya di kelas. Saya melakukan pembelajaran dengan pendekatan STEM (Sains Technology Engineering and Mathematics) dalam pembelajaran bab pencemaran lingkungan, dengan model pembelajaran PjBL (Project Based Learning). Pembelajaran yang sebelumnya sering saya lakukan dengan metode ceramah, untuk aksi nyata ini saya ubah menjadi pembelajaran berbasis projek. Hal ini saya lakukan untuk memfasilitasi siswa dengan kecerdasan dengan tipe yang berbeda di satu model pembelajaran. Dalam pembelajaran ini, saya membawa murid untuk menganalisis permasalahan pencemaran lingkungan terbesar di Indonesia, yaitu pencemaran air. Murid-murid saya menemukan bahwa pencemaran air paling serius dan banyak terjadi di Indonesia diakibatkan karena limbah rumah tangga, yaitu limbah detergen. Setelah menemukan permasalahan, maka murid saya bimbing untuk membuat suatu alat sederhana yang dapat mengurangi pencemaran air detergen, yaitu filter air detergen. Murid-murid kreatif untuk membuat perencanaan tentang susunan bahan-bahan pada filter air, sesuai dengan literature yang mereka baca. Ada yang menggunakan sabut kelapa, ijuk, arang, pasir, batu zeolite yang sering dimanfaatkan sebagai pasir kucing, kapas, dan lain sebagainya. Tentu saja, lapisan bahan yang mereka gunakan memiliki fungsi dan tujuan masing-masing, yang didapatkan pada studi literature sebelum pembuatan alat.
Pada saat pembuatan filter air secara berkelompok, murid-murid dengan natural mengasah kecerdasan mereka sendiri sesuai dengan kodrat mereka. Dalam pengamatan saya, murid dengan kecerdasan visual dan auditori sebagian besar menempatkan dirinya sebagai perencana dalam kegiatan proyek, dan murid dengan kecerdasan kinstetik sebagian besar menempatkan dirinya sebagai pembuat filter air secara aktif. Pada tahap inilah, semua jenis kecerdasan berkolaborasi dengan kemampuan mereka masing-masing.
Setelah pembuatan filter air, murid mulai melakukan penyaringan menggunakan air sabun. Jenis air sabun yang mereka gunakan juga bervariasi, ada yang menggunakan air sabun detergen bubuk, detergen cair, sabun krim, sabun cuci piring, dan lain sebagainya, dengan catatan Ph air diatas 7 (bersifat basa). Tujuan dari pembuatan alat adalah untuk menetralisir sifat basa dari air sabun. Penyaringan dilakukan berkali-kali, lalu pada tahap akhir, murid-murid mengukur Ph airnya dengan indikator universal dan kertas lakmus. Tidak semua kelompok berhasil, bahkan ada beberapa kelompok yang menghasilkan air dengan warna berbeda dibandingkan air sabun awal. Tapi, murid-murid mendapat banyak pengalaman dan pembelajaran dengan bersentuhan langsung dengan alatnya, tidak hanya secara taori. Pembelajaran dengan model ini membuat materi lebih menarik dan mudah dipahami, sehingga kemampuan retensi murid lebih tinggi.
2. Feeling (Perasaan)
Perasaan saya setelah mengikuti pendidikan guru penggerak angkatan 8 ini, saya merasa mendapat banyak ilmu baru, dan mainset yang benar tentang pendidikan yang seharusnya. Pada saat menerapkan aksi nyata di kelas, saya merasa sangat senang karena melihat murid-murid saya aktif dalam pembelajaran, dan materi jadi mudah dipahami, meskipun saya harus mondar mandir ke setiap kelompok untuk memantau. Saya juga sering terhibur dengan penemuan-penemuan konsep yang dilakukan oleh murid saya, seperti warna air sabun menjadi hitam karena arang belum dicuci setelah dihancurkan, warna air menjadi merah karena sabut kelapa dicuci kurang bersih, dan lain sebagainya. Saya juga menemukan banyak langkah-langkah kreatif murid saya ketika Ph air tidak turun setelah penyaringan, yaitu seperti disaring kembali sampai lebih dari 10 kali, mencuci filter air untuk menghilangkan busa di dalamnya, dan lain sebagainya. Saya merasa pembelajaran jadi lebih bermakna dan sekaligus melatih kerjasama, pemikiran kritis, dan kreatif murid-murid saya.
3. Finding (Pembelajaran)
Sebelum saya mengikuti pendidikan guru penggerak, mainset saya tentang pendidikan adalah menyampaikan materi sesuai dengan kompetensi dasar setiap jenjang kelas, yang sudah diatur dalam kurikulum. Karena pembelajaran yang saya lakukan selalu menitikberatkan pada penyelesaian materi, maka seringkali pendekatan yang saya pakai dalam pembelajaran di kelas adalah Teacher Center Learning (TCL), agar tidak ada materi yang belum tersampaikan. Saya seringkali menggunakan metode ceramah agar materi cepat tersampaikan, tanpa memandang apakah murid dapat memahami materi yang saya berikan dan dapat menerapkannya dalam kehidupan. Setelah saya mengikuti Pendidikan Guru Penggerak pada Angakatan 8 ini, saya menyadari bahwa pendidikan menurut filosofi Ki Hajar Dewantara seharusnya menuntun murid sesuai dengan kodrat yang dimiliki. Saya merasa bahwa pembelajaran yang saya lakukan pada saat ini, tidak menuntun murid, tapi malah memberikan banyak tuntutan karena materi yang terlalu padat. Maka dari itu, saya mengubah pembelajaran yang berpusat kepada guru menjadi berpusat pada murid. Selain itu, pembelajaran yang berpusat pada murid akan lebih mengembangkan kerjasama, pemikiran kritis, dan kreatif murid, sesuai dengan tuntutan zaman.
4. Future (Penerapan)
Jika selanjutnya saya menemukan materi yang dapat diterapkan dengan model pembelajaran PjBL, maka saya akan melakukan perencanaan lebih matang agar segala tindakan yang saya dan murid lakukan teratur dan tertulis. Saya juga akan banyak menerapkan model pembelajaran yang berpusat pada murid untuk menyesuaikan dengan kecerdasan murid, dan mengembangkan kemampuan kolaborasi mereka. Model pembelajaran yang berpusat pada murid dan dapat menjadi opsi pembelajaran selanjutnya adalah PjBL (Project Based Learning), PBL (Problem Based Learning), dan pendekatan STEM (Sains, Technology, Engineering, and Matematics) untuk membantu murid mengimplementasikan pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari.

Posting Komentar
Posting Komentar